Sosialisasi 4 Pilar Dewi Asmara Sampaikan Bahaya Paham Radikalisme

sosialisasi 4 pilar kebangsaan bahaya paham radikalisme
Anggota MPR/DPR RI Dewi Asmara saat sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan dihadapan anggota pramuka Kota Sukabumi

BERITAUSUKABUMI.COM-Anggota MPR/DPR RI Fraksi Partai Golkar, Dewi Asmara menekankan pentingnya perang melawan paham radikalisme, terutama paham radikal di kalangan generasi muda. Sebab, salah satu elemen masyarakat yang rentan terpapar ideologi dan pemikiran radikal adalah pemuda.

Menurut Dewi Asmara, data Badan Intelijen Nasional (BIN) usia yang rawan terpapar antara 17-24 tahun dan di Indonesia ada 900-1000 orang pemuda yang terpapar radikalisme. Sedangkan menurut data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, pelaku terorisme didominasi oleh anak muda usia 21-30 tahun, sebesar 47,3 persen. Disusul usia 31-40 tahun mencapai 29,1 persen. Sisanya sebesar 11,8 persen, didominasi usia dibawah 21 tahun atau diatas 40 tahun.

“Paham radikal ini secara terang-terangan menolak keberadaan konsensus kebangsaan yang selama ini menjadi panduan dan pedoman kita dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu gerakan radikalisme dalam beberapa hal dapat mengganggu stabilitas nasional dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi wajib kita lawan dengan kegiatan sosialisasi pemahaman 4 Pilar Kebangsaan seperti ini contohnya,”tutur Dewi Asmara saat jadi pemateri Sosialisasi 4 Pilar di hadapan anggota Pramuka Kota Sukabumi, 3 Agustus 2022 lalu.

Bacaan Lainnya

LIHAT JUGA 

Dijelaskan Dewi Asmara, radikalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, terhadap suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya. Untuk kasus Indonesia radikalisme sering menjadi alternatif dan jalan pintas bagi masyarakat yang kecewa dengan demokrasi dan sistem pemerintahan yang tengah berjalan.

“Remaja atau pemuda rawan menjadi korban dari pemikiran radikal karena karena mereka masih muda, maka belum berpengalaman, energik,masih mencari jati diri, dan masih memiliki semangat yang tinggi. Selain itu, mereka relatif belum memiliki tanggungan. Akibatnya kaum muda mudah untuk dipengaruhi dan dikendalikan para penyebar radikalisme,”terangnya.

Dihadapan anggota pramuka Kota Sukabumi juga Dewi Asmara memaparkan metode penyebaran paham radikalisme, yang salah sataunya ialah lewat situs-situs internet dan media sosial yang bisa diakses dengan mudah dan bebas. Di mana kata Dewi Asmara kelompok radikal ini secara sengaja menyebarkan aktifitas terror di media sosial.

“Mereka sadar betul bahwa media sosial punya potensi yang sangat besar untuk bisa mempengaruhi publik. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sejak 2009 pihaknya sudah memblokir lebih dari 11.800 situs dan akun terkait radikalisme dan terorisme,”terangnya.

Kemudian lanjut Dewi Asmara, secara historisitas, munculnya radikalisme di Indonesia disebabkan oleh tiga faktor mendasar. Faktor pertama adalah perkembangan di tingkat global. Seperti contoh kelompok – kelompok radikal yang menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror di nusantara konflik yang terjadi di Afghanistan.

“Konflik Palestina, Irak, Yaman dan Syiria, mereka bawa juga ke tanah air padahal Indonesia adalah negara yang masyarakatnya cederung mencintai kepada perdamaian dari pada berkonflik. Jelas konflik di luar tidak bisa begitu saja di bawa ke Indonesia karena konteks masalahnya berbeda-beda,”jelasnya.

Lalu faktor kedua adalah terkait dengan tersebarnya paham keagamaan yang konservatif dan kolot dalam pemahaman dan penerapan keagamaanya. Dalam kaitannya dengan radikalisme, paham keagamaan ini membuat batas kelompok yang sempit antara mereka dan kelompok lain, sehingga dengan mudah mereka mengatakan di luar kelompok mereka adalah kafir, musuh, dan wajib diperangi.

“Faktor ketiga adalah karena ketidakadilan sosial dan rendahnya pengetahuan dan wawasan. Walaupun hal ini tidak berpengaruh langsung terhadap merebaknya aksi radikalisme. Hal utama yang membuat keterkaitan antara ketidakadilan sosial dan radikalisme adalah perasaan termarjinalkan atau tersisihkan,”ungkapnya.


editor : Irwan Kurniawan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *