Sejarah Bangsa Rohingya yang Kini Jadi Masalah di Indonesia

Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Myanmar. Sebelum genosida Rohingya pada tahun 2017 ketika 740.000 etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, sekitar 1,4 juta Rohingya tinggal di Myanmar. Rohingya dideskripsikan oleh jurnalis dan media sebagai salah satu etnis yang paling terpresekusi di dunia dengan pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan bagi Rohingya.
Pengungsi Rohingya di Aceh/foto:istimewa

BERITAUSUKABUMI.COM-Akhir-akhirnya ini media sosial dan pemberitaan di media Indonesia dihiasi dengan adanya gelombang ribuan pengungsi orang Rohingya yang mendarat di Pantai Aceh.

Awalnya warga Aceh menerima pengungsi Rohingya dengan alasan keprihatinan dan rasa kemanusian. Namun, dengan alasan kelakuan pengungsi Rohingya yang susah diatur dan suka membuat onar, warga Aceh yang sebelumnya berempati, kini malah balik setengah benci. Orang-orang Aceh kini enggan menerima kehadiran pengungsi Rohingya

Disalin dari Wikipedia, Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Myanmar.

Bacaan Lainnya

Sebelum genosida Rohingya pada tahun 2017 ketika 740.000 etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, sekitar 1,4 juta Rohingya tinggal di Myanmar.

Rohingya dideskripsikan oleh jurnalis dan media sebagai salah satu etnis yang paling terpresekusi di dunia dengan pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan bagi Rohingya.

Terdapat pembatasan gerak bagi Rohingya di Myanmar, akses ke pendidikan, dan layanan pemerintah akibat dari statusnya yang tidak memiliki kewarganegaraan dengan kondisi yang dialami Rohingya telah dibandingkan dengan apartheid.

Rohingya menganggap bahwa mereka adalah pemukim asli dari Myanmar bagian barat dengan sejarah selama lebih dari satu milenium dengan pengaruh dari Arab, Munghal, dan Portugis.

Rohingya mengklaim bahwa Rohingya adalah keturunan dari pemukim dari masa pra-kolonial dan kolonial Arakan. Secara historis, wilayah tersebut terdapat kerajaan yang independen antara Asia Tenggara dengan India.

Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran yang datang dari Chittagong di Bangladesh pada masa kolonial Inggris. Pemerintah Myanmar berargumen bahwa populasi Muslim yang sudah ada dari masa prakolonial diakui sebagai etnis Kaman, dan bahwa etnis Rohingya menyamakan sejarah mereka dengan sejarah Muslim Arakan secara umum untuk memajukan agenda separatisnya.

Selain itu, pemerintah Myanmar tidak mengakui istilah “Rohingya” dan melabeli komunitas tersebut sebagai etnis Benggala.

Berbagai pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh etnis Rohingya telah terjadi sejak tahun 1940an dan masyarakat secara keseluruhan telah menghadapi tindakan keras dari militer Myanmar pada tahun 1978, 1991–1992, 2012, 2015, dan khususnya pada tahun 2016–2018, ketika sebagian besar populasi Rohingya di Myanmar diusir keluar dari negara tersebut, ke negara tetangga Bangladesh.

Pada bulan Desember 2017, diperkirakan 625.000 pengungsi dari Rakhine, Myanmar, telah melintasi perbatasan ke Bangladesh sejak Agustus 2017.

Pejabat PBB dan Human Rights Watch menggambarkan penganiayaan yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya sebagai pembersihan etnis.

Penyelidikan yang dilakukan oleh PBB menemukan bukti meningkatnya hasutan kebencian dan intoleransi agama yang dilakukan oleh “umat Buddha ultra-nasionalis” terhadap etnis Rohingya, sementara pasukan keamanan Myanmar telah melakukan “eksekusi massal, penghilangan paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penganiayaan. dan kerja paksa” terhadap masyarakat Rohingya.

Tata Nama
Istilah modern Rohingya muncul dari istilah kolonial dan pra-kolonial Rooinga dan Rwangya. Orang Rohingya menyebut diri mereka sebagai Ruáingga. Dalam bahasa Burma mereka dikenal sebagai rui hang gya (mengikuti Sistem Transkripsi MLC) (bahasa Burma: ရိုဟင်ဂျာ /ɹòhɪ̀ɴd͡ʑà/) sedangkan dalam bahasa Bengali mereka disebut Rohingga Istilah “Rohingya” mungkin berasal dari Rakhanga atau Roshanga, kata untuk negara bagian Arakan. Kata Rohingya kemudian berarti “penduduk Rohang”, yang merupakan nama Muslim awal untuk Arakan.

Penggunaan istilah Rohingya telah didokumentasikan secara historis sebelum British Raj. Pada tahun 1799, Francis Buchanan menulis sebuah artikel berjudul “A Comparative Vocabulary of Some of the Languages ​​Spoken in the Burma Empire”, yang ditemukan dan diterbitkan ulang oleh Michael Charney di SOAS Bulletin of Burma Research pada tahun 2003.

Di antara kelompok penduduk asli Arakan, tulisnya adalah: “Muhammedans, yang telah lama menetap di Arakan, dan menyebut diri mereka Rooinga, atau penduduk asli Arakan.”

Jurnal Klasik tahun 1811 mengidentifikasi “Rooinga” sebagai salah satu bahasa yang digunakan di “Kekaisaran Burmah”. Pada tahun 1815, Johann Severin Vater mencantumkan “Ruinga” sebagai kelompok etnis dengan bahasa berbeda dalam ringkasan bahasa yang diterbitkan dalam bahasa Jerman.

Pada tahun 1936, ketika Burma masih berada di bawah British Burma, “Rohingya Jam’iyyat al Ulama” didirikan di Arakan.

Menurut Jacques Leider, etnis Rohingya disebut sebagai “orang Chittagonian” selama masa kolonial Inggris, dan menyebut mereka sebagai “orang Bengali” bukanlah hal yang kontroversial hingga tahun 1990an.

Leider juga menyatakan bahwa “tidak ada konsensus internasional” mengenai penggunaan istilah Rohingya, karena mereka sering disebut “Muslim Rohingya”, “Muslim Arakan” dan “Muslim Burma”.

Peneliti lainnya, seperti antropolog Christina Fink, menggunakan Rohingya bukan sebagai tanda pengenal etnis tetapi sebagai tanda politik.

Leider yakin Rohingya adalah gerakan politik yang dimulai pada tahun 1950an untuk menciptakan “zona Muslim otonom” di Rakhine.

Pemerintahan Perdana Menteri U Nu, ketika Burma merupakan negara demokrasi dari tahun 1948 hingga 1962, menggunakan istilah “Rohingya” dalam pidato radio sebagai bagian dari upaya pembangunan perdamaian di Wilayah Perbatasan Mayu.

Istilah ini disiarkan di radio Burma dan digunakan dalam pidato para penguasa Burma. Laporan UNHCR mengenai pengungsi yang disebabkan oleh Operasi Raja Naga menyebut para korban sebagai “Muslim Bengali (disebut Rohingya)”.Namun demikian, istilah Rohingya baru digunakan secara luas pada tahun 1990an.

Saat ini penggunaan nama “Rohingya” terpolarisasi. Pemerintah Myanmar menolak menggunakan nama tersebut. Pada sensus tahun 2014, pemerintah Myanmar memaksa etnis Rohingya untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai “Bengali”.

Banyak orang Rohingya menganggap penolakan terhadap nama mereka sama dengan penolakan terhadap hak-hak dasar mereka,[55] dan Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar telah sepakat.

Jacques Leider menulis bahwa banyak Muslim di Rakhine lebih suka menyebut diri mereka “Muslim Arakan” atau “Muslim yang datang dari Rakhine” daripada “Rohingya”. Kedutaan Amerika Serikat di Yangon terus menggunakan nama “Rohingya”.

Agama
Mayoritas orang Rohingya menganut agama Islam dengan minoritas beragama Hindu dan Kristen. Pemerintah Myanmar membatasi kesempatan pendidikan mereka; akibatnya, banyak yang menjadikan studi Islam sebagai satu-satunya pilihan mereka. Masjid dan madrasah terdapat di sebagian besar desa Rohingya. Secara tradisional, laki-laki salat berjamaah dan perempuan salat di rumah.


editor : Irwan Kurniawan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *