Lapang Merdeka dari Masa ke Masa

Lapang Merdeka Kota Sukabumi
Lapang Merdeka Kota Sukabumi

Sejarah Lapang Merdeka Kota Sukabumi tidak lepas dari sejarah terbentuknya Kota Sukabumi dengan konsep alun-alun mancapat yang menjadi centrum kota awal.

Pada awalnya Lapang Merdeka Kota Sukabumi diperkirakan merupakan alun-alun distrik Gunung Parang pada masa VOC, mengingat semenjak pengaruh Mataram di Priangan, hampir semua pusat administrasi seperti kabupaten, distrik, bahkan kecamatan mempunyai alun-alun.

Konsep alun-alun ini merupakan lapangan luas yang bisa dipergunakan oleh pemerintah maupun masyarakat dalam berkegiatan. Secara filosofi alun-alun ini berasal dari kata halon halon, diibaratkan semaam danau tenang dengan riak kecil. Hal ini menyiratkan bahwa alun-alun adalah tempat religious dimana pemimpin (yang mendapatkan kekuasaan dari Tuhan secara transenden) bisa menunjukan kekuasaannya disitu berupa upacara atau ritual lainnya.

Pun, rakyat dapat menunjukan kegiatannya seperti seni, budaya bahkan bisa melakukan protes di alun-alun untuk bertemu dengan pemimpin. Namun biasanya di jaman dulu protesnya dilakukan secara unik, yaitu dengan duduk dibawah pohon beringin yang umumnya ada di alun-alun besar, tidak berbicara bahkan tidak makan untuk menarik perhatian. Nantinya petugas akan memberitahu pemimpin bahwa ada orang yang hendak mengutarakan aspirasinya dan kemudian dipanggil untuk berbicara.

Bacaan Lainnya

Karena itu diperkirakan bahwa lapang merdeka awalnya merupakan bagian dari alun-alun Gunung Parang (alun-alun utara) sebelum terpisah oleh jalan dan kemudian bangunan. Konsep utuhnya adalah berupa alun-alun mancapat di mana pada umumnya kota-kota di Jawa pada masa itu menjadikan alun-alun sebagai pusat dengan empat penjuru mata angin yaitu sebelah selatan tempat pemimpin, sebelah barat tempat beribadah, sebelah timur perumahan dan utara tempat hiburan.

Ini merupakan konsep pusat kota tradisional di Jawa yang diadopsi pemerintah kolonial dan dikombinasikan dengan kebutuhan kolonial berupa pemimpin dan tempat hiburan tanpa menghilangkan unsur religius. Mengingat konsep alun alun adalah religius, biasanya pasar sebagai simbol sekuler tidak akan berada disekitar alun alun, bahkan jika bisa berjauhan.

Pada masa awal pemisahan afdeling tahun 1870 konsep ini dijalankan dengan dibangunnya rumah asisten residen sebagai pemimpin (yang kemudian menjadi rumah dinas Bupati sesudah Sukabumi menjadi Kabupaten tahun 1921), kemudian di sebelah barat ada masjid Agung yang kemudian disusul dengan adanya gereja katolik Roma di sebelah barat masjid Agung (sekarang Bank BJB) dan Kemudian Gereja Protestan di sebelah utara (Sekarang Gereja SIdang Kristus).

Di sebelah Timur pemukiman kemudian berkembang menjadi pertokoan seiring munculnya pusat keramaian Grote Postweg seiring bermukimnya orang Tionghoa di Chinesekamp Grote Postweg (J. A. Yani). Sementara disebelah utara dibangun tempat hiburan yaitu Societeit Soekamanah yang kemudian menjadi Gedung Juang 1945.

Seiring kebutuhan maka mulailah dibuka jalan masjid yang membelah sebelah barat alun alun dengan kantor kelurahan gunung parang, serta membelah masjid dengan laun-alun yang kemudian disebut jalan masjid. Jalan yang sering digunakan untuk perayaan didepan masjid tersebut kemudian hariditutup untuk sehingga alun-alun dan masjid bersatu kembali.

Begitupun jalan yang membelah alun-alun utara dengan alun-alun selatan, dibuat sesuai keperluan masa kolonial dari seberang Mapolresta menyambung dengan jalan masjid. Kemudian berdiri bangunan seperti apotik, kantor telegraf swasta dan juga rumah sehingga pemisahannya lebih permanen.

Sesudah dibukanya jalur kereta api ke Sukabumi tahun 1882, setahun kemudian dibuka Hotel Victoria yang merupakan pengembangan dari Hotel sebelumnya yaitu Hotel Ort. Pemiliknya kebetulan orang Inggris sehingga namanya dihubungkan dengan Ratu Victoria seorang Ratu Inggris. Bahkan nama jalan didepan Hotel Victoria ini (sekarang jl. Perintis kemerdekaan) kemudian disebut Victoriaweg.

Karena konsep hotelnya dilengkapi bungalow-bungalow dan favilyun maka Hotel Victoria ini sangat luas, batas-batasnya adalah sebelah utara Wilhelminaweg (RE Martadinata) Sebelah barat Victoria Weg /Perintis kemerdekaan), sebelah selatan kompleks Capitol sebelah timur hingga pertokoan Ciwangi.

Di lapang alun-alun utara seringkali diadakan kegiatan resmi pemerintah dan juga upacara dan defile pasukan, karena lokasinya yang strategis dan juga sangat dekat dengan Hotel yang sering dijadikan tempat istirahat weekend para Gubernur Jendral yaitu Hotel Victoria.

Lambat laun orang Belanda menyebut lapang ini sebagai lapang Victoria (Victoria Park), seolah menjadi symbol kegiatan kolonial yang membedakan dengan alun-alun selatan yang digunakan oleh masyarakat lokal yang kadang disebut orang belanda sebagai Oranjeplein.

Di jaman Jepang, lapang ini sering digunakan sebagai latihan tentara mengingat kantor pusat Kempetai Sukabumi tidak jauh yaitu yang sekarang menjadi kantor pajak sebelah Yogya supermarket. Dan juga Gedung pertemuan tentara (Gedung Kurabu) berada disisi utara yaitu yang sekarang menjadi gedung juang.

Bahkan sholat Ied juga dilakukan di lapang Merdeka saat seorang pejabat muslim Jepang bernama Abdulah Mudiam Inada sholat disitu. Nama Inada kemudian disematkan pada lapang Sepakbola yang kemudian hari menjadi lapang Danalaga.

Pada jaman Jepang inilah istilah-istilah kemerdekaan diperbolehkan mengingat Jepang juga berjanji akan memberikan kemerdekaan. Maka Hotel Victoria yang bersimbol barat kemudian dirubah oleh masyarakat menjadi Hotel Merdeka.

Tak terkecuali Lapang Victoriapun mulai disebut-sebut sebagai lapang Merdeka. Saat agresi Belanda, para tentara Belanda dan media Belanda secara latah menyebut Hotel Victoria dengan nama Independence Hotel yang juga berarti Hotel Merdeka.

Seolah menguatkan penamaan ini, pasca Proklamasi “Lapang Merdeka” ini juga menjadi tempat berkumpulnya masyarakat saat melakukan pengambilalihan kemerdekaan. Pekik Merdeka membahana ketika ribuan masyarakat kemudian menghentikan pasukan kempetai yang bersepeda dan kemudian merampas senjatanya, dan dilanjutkan dengan penyerbuan ke Kantor kempetai serta kantor-kantor lainnya pada tanggal 1 Oktober 1945.

Peristiwa ini begitu heroik sehingga ketika Bung Karno berkunjung ke Sukabumi dalam lawatannya untuk meminta dukungan soal Irian Barat, beliau kemudian meresmikan nama Lapang Merdeka tersebut melalui UU Darurat RI Nomor 12 tahun 1951.

Saat itu ribuan masyarakat mulai dari tukang becak, pedagang, hingga pejabat menghentikan semua kegiatannya dan mendengarkan Pidato Bung Karno di Lapang Merdeka. Bung Karno sangat menghargai perjuangan masyarakat Sukabumi saat pengambilalihan kekuasaan dan perang Bojongkokosan, bahkan sempat terenyuh dengan dukungan surat dukungan dari ibu-ibu Sukabumi yang meminta untuk kembali ke NKRI saat adanya pemerintahan Republik Indonesia Serikat.

Lapang merdeka ini mengalami beberapa perkembangan sesuai kebutuhan. Awalnya banyak gugunungan (tanah menonjol) dengan kontur yang dominan, kemudian dikeruk dan tahun 1965 hasil kerukannya diratakan ke beberapa sisi. Area dekat jalan Veteran juga dikeruk supaya lapang menjadi rata dan semakin luas.

Lapang Merdeka kemudian sering menjadi tempat kegiatan masyarakat. Misalnya tanggal 25 Agustus 1968 menjadi tempat lomba perkutut se-Indonesia yang semarak. Kemudian banyak kegiatan-kegiatan seni budaya dan olahraga disini, bahkan kegiatan ormas. Yang unik sempat pula menjadi lokasi prostitusi yang terkait waria, sehingga ada istilah bencong lapdek.

Kemudian setiap hari minggu sempat menjadi pasar kaget dimana masyarakat bisa berolahraga dan belanja murah meriah. Sekarang Lapang Merdeka terus dibenahi secara modern sehingga tampak megah dan nyaman dan akan diresmikan oleh Gubernur Ridwan Kamil.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *