Mengusut Jejak Tapak Komunis di Sukabumi

Kang Warsa

Sedikit sekali literatur yang bisa mengungkap jejak-jejak Partai Komunis Indonesia (PKI) bergerak dan melakukan kegiatannya di Kota Sukabumi.

Kapan PKI masuk ke sukabumi dan dengan cara bagaimana kaderisasi dilakukan oleh Partai berlambang palu arit ini di Kota Sukabumi? Minimnya kepustakaan seperti ini mengharuskan Saya untuk berpikir ulang dalam menulis –bukan sejarah- melainkan sebuah wacana “Jejak PKI di Kota Sukabumi”. Materi yang tidak utuh ini tidak berlebihan dituliskan namun belum pantas jika dijadikan sebuah fakta sejarah apalagi bahan rujukan penulisan sejarah.

Gerakan PKI yang kemudian dijadikan sebagai partai politik terlarang di era Orde Baru jarang sekali diceritakan baik secara skriptual mau pun verbal di zaman sekarang oleh generasi 40-50an kepada anak-cucunya.

Bacaan Lainnya

Ini menjadi salah satu penyebab padamnya obor sejarah gerakan PKI di Kota Sukabumi. Pengungkapan kembali gerakan PKI di Kota Sukabumi, hanya berlangsung sejak era Orde Baru, itu pun dilakukan secara verbal dan pembahasaan kembali oleh para pelaku sejarah dan orang-orang yang mengalami kehidupan demokrasi di era orde lama. Cerita-cerita tentang gerakan PKI di era Orde Baru lebih memperlihatkan kuatnya pengaruh kekuasaan Soeharto waktu itu, ada ketidak seimbangan informasi.

Hal lain, minimnya literatur dan kepustakaan terhadap gerakan PKI di Kota Sukabumi ini disebabkan oleh kurangnya pengaruh PKI di daerah Sukabumi pada tahun 1950-1960an.

PKI sebagai salah satu partai peserta pemilu di tahun 1955 tidak memperlihatkan perolehan angka yang signifikan di Kota Sukabumi. Hal ini besar dipengaruhi oleh akar sejarah dan budaya penduduk Sukabumi yang relijius lebih mengedepankan sentimen pribadi dalam memilih partai politik yang sesuai dengan keyakinan mereka. PKI hanya menyebar di wilayah-wilayah pinggiran Kota Sukabumi. Kader-kader PKI di Sukabumi pada tahun 1950-1960an berbaur dengan masyarakat lain sebab partai ini di era Orde Lama merupakan partai peserta pemilu.

Gerakan PKI pada tahun 1950-1960an di Sukabumi sering identik dengan gerakan gerombolan, bahkan di era Orde Baru, gerakan kaum gerombolan yang sebenarnya dimotori oleh Pemberontahan DI/TIIS.M Kartosuwiryo diidentikkan sebagai PKI Putih.
Gerakan kaum DI/TII yang menjelma sebagai gerombolan sendiri dengan intensitas kecil masih terus berkembang di Kota Sukabumi. Gerakan ini sering berganti-ganti nama namun pada dasarnya itu-itu juga.

Pada penghujung tahun 1980an, muncul gerakan Darul Arqoom di Malaysia, gerakan ini fokus dan berorientasi pada perbaikan ekonomi ummat Islam. Gerakan ini melebarkan sayapnya ke negara-negara tetangga mereka. Karena dilatar belakangi oleh semangat keislaman inilah, Darul Arqom diterima oleh orang-orang yang tetap setia mewarisi ajaran Kartosuwiryo, Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949.

Bagi Pemerintah Orde Baru, gerakan ini merupakan ancaman besar terhadap sebuah ideologi berasas tunggal. Kader-kader dan orang-orang yang terlibat dalam gerakan Darul Arqom ini diawasi gerak-geriknya, kemudian berujung pada penangkapan. Sebaran gerakan kelompok ini tidak sehebat gerakan PKI dan DI/TII pada tahun 1950-an namun karena merupakan ancaman besar bagi berlangsungnya sebuah ideologi, gerakan ini dijadikan sasaran operasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

Pencitraan sebagai PKI putih diwacanakan secara massiv dan sporadis oleh agen-agen politik pemerintahan Orde Baru, dan ini menjadi hal efektif untuk menghilangkan (membunuh) tumbuh suburnya gerakan PKI Putih. Walaupun, secara sembunyi-sembunyi gerakan ini tetap berjalan melalui ruang-ruang klandestin (gerakan bawah tanah). Emosi keagaman tetap dipertahankan oleh gerakan NII ini untuk merekrut kader-kader baru, hingga tahun 1998.

Gerakan gerombolan sering dicitrakan sebagai gerakan kaum Komunis karena sering memperlihatkan kekejaman. Untuk melenyapkan lawan-lawan politknya, kaum gerombolan melakukan aksi teror, pembakaran dan pembunuhan. Di daerah Cipetir, terdapat sebuah tanjakan bernama Cipeuncit. Menurut penuturan salah seorang saksi sejarah, di daerah ini pernah terjadi penyembelihan beberapa orang yang dilakukan oleh kaum gerombolan.

Hipotesa awal terhadap peristiwa ini, gerakan-gerakan teror inilah yang menjadikan kaum gerombolan pada akhirnya memilih terlibat dalam gerakan PKI baik menjadi kader dan anggota secara langsung atau karena tulis punggung. Imbasnya, deviasi sejarah ini telah menempatkan, diakui atau pun tidak baik secara apriori maupun aposteriori teror kaum gerombolan merupakan teror PKI juga.

Partai Komunis Indonesia mengalami kesulitan dalam melakukan kaderisasi dan rekruitmen keanggotannya di Sukabumi. Benturan ideologi komunis dan keagamaan menjadi salah satu penyebab sempitnya ruang gerak PKI.

Sukabumi dikenal sebagai Kota Santri, di berbagai kampung (lembur) sejak pertengahan abad ke 19 telah berdiri beberaoa pondok pesantren. Kaderisasi dilakukan oleh PKI melalui sebaran informasi kesejahteraan bersama, tawaran dan bujukan perbaikan taraf hidup.

Idealisme proletarian ini pada dasarnya tidak akan dimengerti oleh masyarakat agraris, sebab terjadi kontradiksi besar antara ideologi proletar kaum buruh dengan lingkungan agraris yang lebih memilih untuk meyakini hal-hal supranatural sebagai penggerak kehidupan.

Tawaran kebaikan ini berujung pada cara-cara klasik dalam dunia perpolitikan, pertemuan-pertemuan memang tidak dijadikan usaha mencari uang, namun dalam pertemuan-pertemuan kader PKI ini, terjadi simbiosis mutualisma, mereka datang kemudian diberikan pasokan-pasokan kebutuhan hidup.

Pada pertemuan selanjutnya, tawaran kebaikan ini pun ditularkan kepada kerabat dan teman dekat oleh kader inti. Pola seperti ini pernah diadopsi oleh rezim Orde Baru dalam program Kader Penggerak Teritorial Desa, PKI sebetulnya telah berada satu langkah dalam melakukan program seperti ini.

Ideologi dan gerakan PKI ini masuk ke Sukabumi dibawa oleh kelompok urban, orang kampung (urang lembur) yang bekerja di Jakarta. Pergolakan politik mereka dapatkan di Kota Besar kemudian dibawa ke daerah. Tidak heran, anggota PKI di Kota Sukabumi ini didominasi oleh para pekerja kemudian menularkan visi dan misi –bukan ideologi- kepada kerabat terdekatnya.

Terlalu berat jika kita menyangka pada waktu itu anggota dan kader PKI mengerti ideologi kaum Sosialis-Marxis, mereka lebih tergiur kepada tawaran-tawaran kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bagi rakyat kecil, walaupun fakta sejarah, kemiskinan dan kriris kehidupan tidak lepas dari pergolakan politik waktu itu.

Pergolakan politik di pusat pun membawa imbas kepada kehidupan di daerah-daerah. Kader dan simpatisan di daerah sering terlibat perang wacana dan pembicaraan. Beberapa long-march pernah dilakukan oleh masing-masing kader dan simpatisan partai politik dan pada waktu itulah perang wacana dan intimidasi pencitraan terjadi. Satu kelompok biasa menyuarakan “Mbooohhh!” suara lenguh sapi, dilakukan oleh kader dan simpatisan Masyumi serta partai-partai berasas Islam. Kemudian dibalas dengan suara “Mbeeee” suara kambing mengembik oleh kader-kader PKI. Namun perang mulut ini tidak meluas kepada perang fisik.

Pada tahun 1963, kader-kader PKI sering melakukan Kaderisasi di ruang-ruang publik. Gang Tae Kwat (Tekwat) di Kota Sukabumi sering dijadikan tempat berkumpulnya kader-kader PKI pada hari-hari tertentu.

Dan pada tahun ini terjadi peristiwa besar. Issue pembunuhan yang dilakukan oleh seorang warga keturuan (WNA, Tionghoa) terhadap seorang lelaki beragama Islam di Bandung menyebar secara sporadis di Sukabumi.

Pada tahun ini terjadi mobilisasi massa secara besar-besaran, beberapa toko milik warga Tionghoa dibakar, kendaraan-kendaraan pun dibakar kemudian diseret dan diceburkan ke sungai. Seorang saksi mata menyebut, peristiwa ini merupakan masa-masa mencekam, zaman Pikakeueungeun.

Aksi ini sebetulnya tidak dilatarbelakangi oleh unsur politis, namun karena beberapa alasan: Pertama, generalisasi waktu itu sangat besar dipengaruhi oleh pergolakan ideologi, masyarakat telah memberi cap, pola-pola pembunuhan merupakan ciri khas kader PKI. Orang-orang Kominis (Komunis) sering terbaca di beberapa media sebagai biang kisruh pembunuhan dan pembantaian. Kedua, kaum gerombolan secara de facto, merupakan un-citizen movement cenderung memiliki kader militan dari kader dan simpatisan PKI atau banyak kader-kader gerombolan yang menyebrang ke partai berlambang palu dan arit ini.

Stigma kekerasan yang dikarakterkan sebagai watak gerakan PKI menjadi dorongan penting bagi orang-orang PKI pusat untuk segera menyelesaikan kehiruk-pikukan ini. Informasi telah benar-benar menyudutkan mereka untuk melakukan tindakan pembenaran, negara harus dikuasai secara penuh oleh ideologi komunis agar visi , misi, dan tawaran-tawaran kebaikan segera diwujudkan dan direalisasikan kepada masyarakat. Sebuah usaha untuk membenarkan bahwa hanya dengan ditata oleh kader-kader PKI lah negara akan makmur dan berkeadilan.

Semangat revolusi ini terlalu prematur, sebab, kebencian kader-kader PKI kepada kelompok Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme) tidak serta merta secara teknis mudah diakhiri. Pergerakan-pergerakan di negara ini pun pada dasarnya merupakan buah tangan dan pemikiran-pemikiran Barat.

Ideologi-ideologi yang dianut pun tidak lepas sari semangat rekonquista, baik oleh Barat maupun Timur Tengah. Jika dicerna lebih mendalam, kekisruhan politik yang terjadi pada dasarnya hanya merupakan tularan dari bangsa-bangsa lain yang dibawa ke negara ini. Haluan pun begitu jelas, ke manakah partai politik waktu itu memberikan dukungan dan didukung oleh negara mana saja?

Kegagalan program PKI ini menjadi efek bumerang bagi kader-kader di daerah. Siapa pun yang terlibat di dalam gerakan PKI atau menjadi anggota dan kader organisasi-organisasi sayap PKI merupakan ancaman besar bagi keutuhan negara dan ideologi pancasila yang berlandaskan Ketuhanan. Secara perlahan namun dengan gerakan massiv, kader-kader PKI di Kota Sukabumi pun dijadikan musuh bersama, common enemy.

Dari tahun 1965-1980an, pencarian dan pendataan terhadap kader-kader PKI di Kota Sukabumi terus berlangsung. Orde Baru telah menjadi hal mengerikan bagi kader-kader PKI dan keturunannya. Pendataan ini terus berlangsung, satu tahun sekali, siapa pun yang tercatan dalam buku hitam diwajibkan melapor ke kantor-kantor kecamatan dan desa. Pembedaan pun dilakukan di dalam KTP, bagi kader-kader PKI, Kartu Tanda Penduduk diberi tanda khurus, tulisan OT, Organisasi Terlarang. Sanksi sosial pun berlangsung, pemberian nama gerombolan kepada kader-kader PKI terus melekat.

Dalampemberitaan http://voa-islam.com pada Hari Selasa, 29 Januari 2013 Kegiatan Sosial: Pengobatan Gratis oleh Ribka Tjiptaning di Kecamatan Warungkiara dibubarkan oleh Aparat demi alasan Ribka merupakan keturunan orang PKI.

Stigma kejelekan yang telah dilakukan oleh orang-orang PKI pusat ini terus mengalir walau pun orde telah berganti. Apalagi Ribka pernah menulis sebuah buku, “Aku Bangga Menjadi Anak PKI”, dalam tataran keilmuan ini merupakan hal biasa, namun dalam tataran realita ini sangat sukar diterima dalam masyarakat yang telah tiga dekade dijejali oleh pencitraan jelek terhadap PKI. Meskipun pada akhirnya, saat dikonfirmasi, salah seorang Kades di Warungkiara, Kabupaten Sukabumi melakukan pembubaran bukan karena alasan Ribka keturunan PKI kecuali ketidak jelasan Tim Medis pada acara pengobatan gratis tersebut.

Dan pada akhirnya, sulit sekali bagi ideologi sosialis-marxis untuk mengulang kembali kejayaan mereka seperti yang pernah dialami oleh PKI di tahun 1950-1960an, sama halnya, sulit sekali untuk menegakkan kembali semangat Piagam Jakarta oleh kaum pergerakan Islam. Fakta ini menunjukkan, Sukabumi memang telah memiliki akar budaya yang kokoh , tatanan nilai yang diadopsi oleh kedua aliran ini memang telah mengendap sekian lama di dalam kehidupan masyarakat.

Untuk apa mereka mengubah tatanan nilai yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka, apalagi dengan cara meruntuhkannya? Terlebih jika gerakan-gerakan tersebut besar dipengaruhi dan menggunakan kendaraan politik. Maka, meskipun partai-partai berlandaskan ideologi komunis berdiri kembali di Indonesia atau partai-partai berlandaskan agama menjadi pemenang dalam pemilu, tatanan nilai bangsa ini akan tetap menjadi landasan berpijak masyarakat.

Kang Warsa : Penulis Sejarah dan Kesundaan


tulisan ini pernah dimuat disejumlah media dan dimuat ulang redaksi BERITAUSUKABUMI.COM 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *