BERITAUSUKABUMI.COM-Kaum buruh di Sukabumi paling rawan terpapar dan jadi penyumbang klaster penyebaran Covid-19. Demikian diungkapkan Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti.
Menurut Dian, pembatasan kegiatan di tengah kebijakan PPKM Darurat karena ledakan kasus COVID-19, nyaris tidak berlaku bagi buruh pabrik. Jutaan pekerja di sektor manufaktur TGSL alias tekstil, garmen, sepatu dan kulit, tetap bekerja dari pabrik.
ARTIKEL LAIN :
- Ini Tuntutan Serikat Buruh ke Bupati Marwan Hamami
- Darah Buruh Perusahaan Bisa Penuhi Target 1.000 Labu Darah Perbulan
- Akar Sejarah Hari Buruh Internasional
Kasus buruh di Sukabumi meninggal dunia dan terpapar Covid-19 yang baru terungkap, yakni terjadi pada seorang Buruh pabrik minuman PT Djojonegoro C-1000 di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi sedikitnya ada 15 karyawan PT Yongjin Cicurug juga positif Covid-19.
Selain di Sukabumi, buruh-buruh ini sebagian besar juga pekerja pabrik di wilayah Cakung, Tangerang, Subang, serta Solo.
Puluhan pabrik di wilayah tersebut kata Dian tidak memberlakukan Work From Home (WFH) alias masih beroperasi 100 persen. Hal ini menjadikan pabrik sebagai salah satu klaster penyebaran COVID-19.
“Para pekerja wajib bekerja, jika tidak akan kehilangan pekerjaan. Jutaan pekerja bekerja penuh waktu, bahkan melakukan lembur dalam ruang tertutup dan padat tanpa alat pelindung diri dan fasilitas kesehatan memadai,” ujar Dian dalam virtual conference, Senin 19 Juli 2021 seperti dikutip BERITAUSUKABUMI.COM dari kumparan.com.
Akibat situasi itu, data pihaknya menunjukkan klaster pabrik termasuk paling agresif. Dalam dua minggu terakhir saja ribuan anggotanya ungkap Dian terpapar di tempat kerja.
Dijelaskan Dian, klaster pabrik ini kemudian berimbas pada munculnya klaster hunian. Menurut Dian, sebagian besar buruh tersebut tinggal di wilayah padat penduduk.
Sebetulnya, kata Dian, tuntutan kerja yang dihadapi para buruh ini menjadi jauh lebih berat bahkan sejak awal tahun 2021, sebelum berlakunya PPKM Darurat. Implementasi Omnibus Law UU Cipta kerja disinyalir jadi faktor utama yang memperburuk situasi mereka.
“Dengan merujuk UU Cipta Kerja, sejumlah perusahaan TGSL telah mengubah sistem kerja dari pekerja tetap menjadi pekerja borongan. Pekerja ini kehilangan fasilitas upah tetap, kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Akhirnya mereka memaksa diri terus bekerja karena takut kehilangan upah,”pungkasnya.
Atas dasar itu, gabungan serikat pekerja sektor manufaktur menuntut pemerintah memastikan perlindungan hak atas kesehatan dan hak pekerja.
Selain itu, pemerintah diharapkan memberikan sanksi tegas pada perusahaan yang melakukan pelanggaran PPKM Darurat, dengan mewajibkan pekerja bekerja namun tidak memfasilitasi APD hingga akses kesehatan.
“Kami juga menuntut pemerintah melakukan moratorium pelaksanaan Omnibus Law UU Cipta Kerja selama pandemi berlangsung. Sanksi tegas pengusaha yang melakukan PHK, merumahkan tanpa upah, ataupun memotong upah,” tutur Dian Trisnanti.
editor : Rikat Elang Perkasa