Siapa Yang Jujur ? Adu Data Pemkot dan DPRD Kota Sukabumi Soal Kenaikan Angka PAD

Perbedaan data antara Pemkot dan DPRD Kota Sukabumi soal kenaikan PAD memicu perdebatan. Pemkot mengklaim pertumbuhan 55%, sementara DPRD menilai itu hanya efek perubahan sistem pencatatan opsen pajak kendaraan bermotor.
Inggu Sudeni dan Galih Marelia Anggraeni

BERITAUSUKABUMI.COM-Adu data antara DPRD Kota Sukabumi, yang diletupkan Anggota DPRD Kota Sukabumi Inggu Sudeni dan Pemkot Sukabumi yang dipaparkan langsung Kepala BPKPD Kota Sukabumi, Galih Marelia Anggraeni terkait angka pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah atau PAD Kota Sukabumi mencuat setelah Pemkot dan DPRD memaparkan data berbeda.

Galih Marelia Anggraeni mengklaim PAD mengalami peningkatan signifikan hingga 55,65 persen, sementara DPRD menilai lonjakan itu hanya bersifat teknis, bukan peningkatan kinerja riil.

Sedangkan, Inggu Sudeni menilai Inggu menyebut cara Pemkot Sukabumi memaparkan data tersebut sebagai bentuk “window dressing” fiskal, yakni upaya mempercantik laporan agar terlihat lebih baik dari kenyataan.

Bacaan Lainnya

Berikut data berbeda soal angka pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah atau PAD Kota Sukabumiyang diungkap Inggu Sudeni dan Galih Marelia Anggraeni

Versi  Galih Marelia Anggraeni : Klaim PAD Naik 55,65 Persen

Kepala BPKPD Kota Sukabumi, Galih Marelia Anggraeni, menjelaskan hingga 31 Oktober 2025, capaian PAD Kota Sukabumi menunjukkan tren positif.

Berdasarkan data, realisasi pajak daerah dan retribusi non-BLUD mencapai Rp114,8 miliar, naik dari Rp73,7 miliar pada periode yang sama tahun 2024.

“Jika dihitung menggunakan rumus rasio pertumbuhan PAD, hasilnya mencapai 55,65 persen,” ujar Galih dalam keterangan tertulisnya, pada Selasa (4/11/2025).

Galih menyebut, sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), opsen pajak kendaraan bermotor kini menjadi bagian dari pendapatan daerah.

Meski ada tambahan pemasukan dari sektor ini, pihaknya tetap berupaya meningkatkan potensi pajak melalui berbagai strategi.

“Upaya kami antara lain menggelar operasi gabungan dengan Samsat, Satlantas Polres Sukabumi Kota, serta P3DW Jawa Barat. Kami juga melakukan sosialisasi dan pengingat pajak melalui pesan WhatsApp massal dan surat via Kantor Pos,” jelasnya.

Selain itu, BPKPD juga menugaskan 15 petugas penelusur pajak di tujuh kecamatan untuk mendata wajib pajak yang belum menunaikan kewajibannya.

Galih menegaskan, klaim pertumbuhan PAD yang disampaikan Wali Kota Sukabumi bukan bentuk manipulasi data.

“Tidak ada kebohongan publik. Angka yang disampaikan Pak Wali merupakan peningkatan murni dari pajak daerah dan retribusi non-BLUD,” tandas Galih.

Versi Inggu Sudeni : Kenaikan Riil hanya sekitar 12 Persen, Bukan 55 Persen

Namun, pernyataan tersebut ditanggapi berbeda oleh Anggota Komisi II DPRD Kota Sukabumi, Inggu Sudeni. Ia menilai Pemkot seharusnya lebih terbuka dan jujur dalam memaparkan data PAD ke publik.

Menurutnya, perbandingan PAD tahun 2024 dan 2025 tidak relevan karena terdapat perubahan sistem pencatatan opsen pajak kendaraan bermotor yang sebelumnya berupa Dana Bagi Hasil (DBH), kini langsung masuk ke kas daerah.

“Contohnya, September 2024 PAD tercatat Rp66,7 miliar, sedangkan September 2025 mencapai Rp103,7 miliar,”ucapnya.

Sekilas tampak naik drastis, padahal Rp28,7 miliar di antaranya berasal dari opsen pajak kendaraan bermoto.

Jika komponen opsen itu dikeluarkan, kenaikan riil hanya sekitar 12 persen, bukan 55 persen tambahnya.

Hal serupa juga terlihat di Oktober 2025, di mana terdapat tambahan opsen BBNKB dan PKB sebesar Rp31,9 miliar. Jika dikoreksi, kenaikan riil PAD hanya sekitar Rp9 miliar atau 12,27 persen.

“Itu bukan peningkatan kinerja, tapi perubahan pencatatan. Pemerintah cukup duduk manis, pendapatan otomatis masuk lewat opsen pajak,” katanya.

Lebih lanjut, Inggu menegaskan bahwa pengelolaan pemerintahan tidak boleh dijalankan seperti perusahaan yang berlomba mempercantik laporan.

Inggu menilai Pemkot perlu fokus pada dampak nyata di masyarakat, bukan sekadar angka di laporan.

“Yang naik itu bukan kinerjanya, tapi cara menghitung pendapatan. Ini prestasi excel, bukan prestasi lapangan. Angka bisa diedit, tapi kepercayaan publik tidak,” tegasnya.

“Kalau mau membangun kepercayaan, bangun dulu kenyataan. Karena jika data dijadikan alat pencitraan, yang rusak bukan tabel keuangan, tapi kredibilitas pemerintah,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *