BERITAUSUKABUMI.COM-Uga Wangsit Siliwangi adalah sebuah cacandran atau penerawangan Prabu Siliwangi tentang lika-liku masa depan bangsa/suku Sunda setelah runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Kemudian, bekas wilayah Kerajaan Pajajaran tersebut dikuasai oleh Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon lalu setelah itu berturut-turut dikuasai oleh VOC, Negara Prancis (Gubernur Jenderal Herman Daendles), Kerajaan Inggris (Sir Thomas Stanford Rafles), Pemerintah Hindia Belanda, lalu direbut oleh Kekaisaran Jepang pada Perang Dunia ke II, selanjutnya direbut lagi oleh Pemerintah Hindia Belanda, lalu setelah itu dikuasai Negara Republik Indonesia hingga saat ini.
Dalam Uga Wangsit Siliwangi terdapat beberapa bait yang menyebut “Lebak Cawene” yang ditengarai akan menjadi Ibukota Kerajaan Pajajaran Anyar/Pajajaran Baru yang dipercayai akan berdiri lagi dimasa sekarang ini sebagaimana Uga Wangsit Siliwangi. Adapun bait-bait tersebut adalah sebagai berikut :
“Dia mudu marilih pikeun hirup kahareupna, supaya engke jagana jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran ! tapi lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman !”
“Dia nu dibeulah kulon ! Papay ku dia lacak Ki Santang ! Sabab engkena turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabeh nu rancage di hatena.Engke jaga mun tengah peuting ti Gunung Halimun kadenge sora tutunggulan, tah eta tandana saturunan dia disambat ku nu dek kawin di Lebak Cawene. Ulah sina talangke, sabab talaga bakal bedah !”
Laju nareangan budak angon, nu saungna dibirit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Nareangannana budak tumbal, sejana dek marenta tumbal. Tapi budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan, geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawene !.
Lebak Cawene adalah sebuah tempat yang keberadaannya masih misteri dan menjadi perdebatan dikalangan budayawan dan sejarahwan sunda tentang letak yang sebenarnya. Dalam beberapa karya sastra Sunda buhun/Sunda lama seperti “Pantun Bogor” atau Uga Wangsit Siliwangi dan “Pantun Gede”, “Pantun Hatur Wangi”, Lebak Cawene ini dipercaya akan menjadi Pusat Kerajaan Pajajaran Anyar seperti yang dipercayai oleh sebagian besar budayawan dan sejarahwan sunda.
Pemerintah Penjajahan Jepang melalui Keimin Bunka Shidoso Tyuoo Honbu Zityo/Kantor Luhur Pusat Kebudayaan nampaknya mempelajari pula sejarah Sunda yang termuat dalam pantun-pantun sunda buhun tersebut bahkan ada salah satu sumber yang mengatakan bahwa Bangsa Jepang adalah masih keturunan Prabu Siliwangi/Sunda.
Meskipun hal tersebut lebih cenderung ke politisasi sejarah, sebab Penjajah Jepang saat itu tengah meraih simpati bangsa Indonesia khususnya masyarakat Sunda agar mau membantu Tentara Jepang melawan Tentara Sekutu dalam perang Asia Timur Raya, karena waktu itu Bala Tentara Jepang sedang terdesak oleh Pasukan Sekutu (ABDACOM).
Namun terlepas dari itu, Kaisar Jepang Hirohito Tenno Heika yang beragama Shinto nampaknya mempercayai bahwa untuk memperpanjang kejayaan dan kekuasaannya beliau harus membangun sebuah kota di Jawa Barat.
Untuk menjemput takdir sesuai Uga Wangsit Siliwangi, ia lalu membuat kota di Lebak Cawene yang nantinya akan menjadi Ibukota Kerajaan Pajajaran anyar/baru yang kemudian diwujudkannya dengan membangun sebuah kawasan kota sekaligus benteng pertahanan di sebuah tempat yang tersembunyi diantara perbukitan dekat Stasiun Kereta Api Gandasoli dan sungai Cimandiri.
Lokasi Lebak Cawene tidak jauh dari Situs Megalithikum Gunung Padang Kabupaten Cianjur, yang mana kawasan kota itu dibuat oleh Pemerintah Penjajah Jepang dengan menggunakan tenaga Romusha dan tahanan interniran Belanda.
Berdasarkan keterangan dari bapak Jajang Saptadji seorang pejuang 1945, kota itu diberi nama secara langsung oleh Tenno Heika/Kaisar Jepang dengan sebutan Kota Hiroshima-2 dengan luasan radius +- 10 kilometer termasuk pula Kota Sukabumi.
Adapun ciri-ciri dan toponiminya seperti yang tertera di “Pantun Bogor” atau Uga Wangsit Siliwangi, “Pantun Gede”, dan “Pantun Hatur Wangi”.
Toponimi yang dimaksud diantaranya Gunung Goong yaitu sebuah gunung yang pada waktu tertentu sering terdengar bunyi Gong ditabuh digunung tersebut.
Sungai Cipangawin yaitu barisan Pangawin = pasukan pengawal pribadi Prabu Siliwangi, Pasir Tugu yaitu dibukit tersebut terdapat Menhir/Batu Tegak setinggi 20 meter yang dikaitkan dengan Budak Angon yang memiliki pintu Batu Satangtung, dan Gunung Lisung yang mana digunung tersebut terdapat Lisung/tempat menumbuk padi dan hingga saat ini kadang masih terdengar ada bunyi tutunggulan (orang menabuh lisung).
Serta didukung pula oleh banyaknya tinggalan zaman Megalithikum disekitar tempat tersebut diantaranya di Gunung Manglayang, Gunung Kekenceng, Gunung Suta dan Gunung Kancana, yang kini tinggalan zaman Megalithikum tersebut sebagian sudah musnah, baik oleh tangan manusia maupun oleh faktor alam.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan menelaah beberapa referensi termasuk pula Peta Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi dan Peta Prefektur Hiroshima-Jepang serta wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di Sukabumi Timur.
Kontur dan bentang alam wilayah Kecamatan Cireunghas dengan Prefektur Hiroshima-Jepang memiliki banyak kesamaan yaitu daerahnya berbukit-bukit serta terdapat sungai besar.
Jika di Kota Hiroshima Jepang terdapat sungai Ota sepanjang 103 kilometer yang hulu sungainya berasal dari Gunung Kanmuri dan bermuara ke teluk Hiroshima, maka di Kota Hiroshima-2 Sukabumi terdapat sungai Cimandiri sepanjang 100 kilometer yang hulu sungainya berasal dari Situs Megalithikum Gunung Padang/Gunung Kancana Kabupaten Cianjur dan bermuara ke teluk Palabuhan Ratu/Samudera Indonesia.
Sukabumi sendiri dimungkinkan kedepannya akan menjadi Ibukota Pajajaran baru yang hal itu ditandai dengan adanya Prasasti Sejarah Sanghyang Tapak di Kecamatan Cibadak, dan toponiminya banyak yang berhubungan dengan hal-hal kesundaan seperti : Sunda Wenang di Kecamatan Parung Kuda, Cisunda Jaya di Ciandam Kota Sukabumi Cipriyangan di Kecamatan Sukalarang,
Atas dasar-dasar itulah mungkin Kaisar Jepang Tenno Heika melalui Panglima Bala Tentara Jepang ke-16 yang berkuasa di Pulau Jawa kemudian memerintahkan untuk membangun Kota Hiroshima-2 di Desa Tegal Panjang Kecamatan Cireunghas Kabupaten Sukabumi, yang berfungsi sebagai kota pertahanan dan industri untuk menunjang kebutuhan Jepang selama Perang Asia Timur Raya. Sebab Sukabumi memiliki banyak sumber daya mineral dan 80 persen perkebunan di Jawa Barat berada di Sukabumi.
Mengenai keberadaan Kota Hiroshima-2 ini pun sepertinya sengaja dihilangkan dari catatan sejarah bangsa Indonesia dan hingga saat ini masih menjadi misteri dan seakan banyak hal yang sangat dirahasiakan disana sebagaimana Lebak Cawene yang menjadi misteri dan keberadaannya entah dimana.
Kota Hiroshima-2 Sukabumi pernah diperebutkan oleh Tentara Jepang, Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan Tentara Gurkha pada masa perang kemerdekaan, dan nasibnya pun tidak jauh berbeda dengan Kota Hiroshima yang ada di Jepang, yaitu sama sama di bom dan dibumi-hanguskan akibat pecahnya peperangan sehingga yang tersisa hanya tinggal beberapa bangunan saja serta puing-puingnya.
Ataukah memang benar bahwa Kota Hiroshima-2 ini adalah lokasi Lebak Cawene yang belum waktunya dibuka oleh Kaisar Jepang/bangsa Jepang selaku saudara tua yang menganut faham fasis, karena peruntukannya adalah untuk saudara muda/suku Sunda/Budak Angon sesuai Uga Wangsit Siliwangi ? Hal itu nampaknya perlu penelitian lebih lanjut.
Berkaitan dengan itu maka kita sebagai Urang Sunda mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya beserta alam dan lingkungannya, karena alam adalah penunjang keberlangsungan hidup orang Sunda dan keturunannya.
Selain itu dengan lestarinya warisan budaya kita jadi tahu jati diri kita dan jati diri karuhun/leluhur kita dan harus bangga dengan warisan budaya yang ditinggalkannya. Ibarat kata pepatah “Jati ulah kasilih ku junti” yang artinya penduduk asli Sunda jangan sampai kalah oleh bangsa luar atau budaya asli Sunda jangan sampai hilang digantikan oleh budaya luar
Demikianlah pendapat pribadi saya mengenai Lebak Cawene yang saya buat berdasarkan bukti-bukti tinggalan arkeologi, serta referensi sejarah baik primer maupun sekunder semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf kalau ada kesalahan ataupun ada kurang dan lebihnya.
Oleh : Tedi Ginanjar
Ketua Yayasan Cagar Budaya Nasional Pojok Gunung Kekenceng Sukabumi