Apa Hikmah dan Makna Dimensi Sosial di Dzulhijjah?

Sabtu (17/06/2023) lalu, saya diminta lagi untuk menjadi Juri Kaligrafi jenjang SMP pada kegiatan PENTAS PAI Tingkat Kota Sukabumi 2023. Ada 20 peserta yang ikut tercatat dalam daftar hadir yang g didominasi peserta putri, karena yang putra cuma 5 orang. Ada rasa miris yang menerpa hati ketika melihat peserta mulai mengerjakan karya mereka. Betapa tidak?, dari 20 peserta tersebut, hanya 4 peserta yang sudah 'melek' teknis pembuatan hiasan mushaf yang menjadi pilihan pada lomba Kaligrafi di Pentas PAI yang dilaksanakan hingga tingkat nasional ini.
Boby es-Syawal el-Iskandar Kabid Litbang PKALEMKA

BERITAUSUKABUMI.COM-Dzulhijjah adalah nama salah satu bulan dalam hitungan kalender Hijriah, yang menjadi penutup dari 12 bulan. Ada dua hal yang identik pada bulan Dzulhijjah ini.

Pertama, adanya ritual pelaksanaan ibadah haji yang rangkaiannya sudah dimulai sejak bulan Syawal, Dzulqo’dah hingga tanggal 9 Dzulhijjah. Kedua, penyembelihan hewan kurban yang dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah dan tiga hari setelahnya yang dikenal dengan hari tasyrik, yaitu tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah.

Ibadah haji sendiri sudah ada sejak masa Nabi Ibrahim AS. Namun dalam Islam, ibadah haji baru disyariatkan pada tahun ke-6 hijrah. Tapi ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ibadah haji sudah disyariatkan pada tahun ke-5 hijrah. Ada juga pendapat bahwa ibadah haji sudah disyariatkan sebelum Nabi Muhammad saw hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Bacaan Lainnya

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang menarik untuk dicermati adalah bahwa Nabi Muhammad SAW justru baru melaksanakan haji pada tahun ke-10 hijrah. Padahal ibadah haji sudah disyariatkan beberapa tahun sebelumnya. Ibadah haji yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dikenal juga dengan haji wada’ atau haji perpisahan, Karena selang tiga setelah itu Rasulullah wafat.

Lalu apa yang menyebabkan Rasulullah baru melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-10 hijrah. Padahal ibadah haji termasuk dalam rukun Islam. Kalau kita lihat dari sisi sejarah, bisa jadi Rasulullah tidak melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-5 atau ke-6 hijrah, karena pada saat itu Mekkah masih dikuasai oleh kaum musyrik, sehingga beresiko dari sisi keamanan.

Namun nyatanya, Rasulullah dan para sahabat juga tidak melaksanakan ibadah haji pada tahun ke 7, 8 dan 9 hijrah. Padahal, di tahun ke 8 hijrah, kaum muslimin sudah dapat menguasai Mekkah, yang dikenal dengan peristiwa fathul Makkah.

Berbeda dengan ibadah kurban, yang mulai dikenal sejak masa Nabi Ibrahim dengan peristiwa penyembelihan Ismail kecil. Kurban bahkan sudah dikenal sejak masa Nabi Adam dengan kisah kurban Habil dan Qobul atas perintah Allah SWT.

Terkait dengan ibadah kurban, Rasulullah justru tidak pernah absen satu kalipun pada setiap tahunnya. Dalam sebuah hadis disebutkan dari Ibnu Umar berkata, “Selama Rasulullah bermukim di Madinah selama sepuluh tahun, beliau menyembelih kurban tiap tahunnya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Bahkan jumlah hewan yang Rasulullah saw kurbankan sangat banyak, yaitu 100 ekor unta dimana 70 ekor diantaranya beliau sembelih sendiri, sedangkan 30 ekor sisanya disembelih oleh sahabat Ali bin Abu Tholib.

Dan belum ada satupun keterangan yang saya dapatkan bahwa hewan kurban Rasulullah saw diambil dari uang APBN/APBD (Baitul Maal). Ini berbeda dengan pemimpin saat ini, yang begitu bangga menyembelih hewan kurban atas nama pejabat yang bersangkutan padahal dananya diambil dari APBN/APBD, yang jelas-jelas itu uang rakyat.

Lalu, apa hikmah yang bisa kita ambil dari pelaksanaan ibadah haji dan kurban ini? Dalam ibadah haji, dalam perspektif napak tilas kepada Nabi Ibrahim as, ada ritual melempar jumroh sebagai bentuk komitmen kita untuk terus melakukan perlawanan kepada setan yang selalu berusaha untuk menjerumuskan kita kepada perbuatan dosa dan maksiat dari berbagai arah dan cara.

Dengan biaya yang cukup besar dan daftar tunggu yang lama untuk saat ini, orang yang melaksanakan ibadah haji hanya dijanjikan sorga oleh Rasulullah saw. Ini bisa kita lihat dari keterangan hadis, “Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (Muttafaq alaih).

Lalu, bagaimana dengan keutamaan ibadah kurban?. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Aisyah menuturkan dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan.

Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117).

Dalam hadis lain disebutkan bahwa dari Abu Daud dari Zaid bin Arqam dia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah maksud dari hewan-hewan kurban seperti ini?” beliau bersabda: “Ini merupakan sunnah (ajaran) bapak kalian, Ibrahim.

“Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas apa yang akan kami dapatkan dengannya?” beliau menjawab: “Setiap rambut terdapat kebaikan.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan bulu-bulunya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dari setiap rambut pada bulu-bulunya terdapat suatu kebaikan.” (HR. Ibnu Majah no. 3127).

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa ternyata Rasulullah saw lebih banyak mengerjakan ibadah kurban dibandingkan ibadah haji.

Hal ini Rasulullah lakukan untuk memberikan pelajaran kepada kita bahwa ibadah kurban adalah yang memiliki dampak sosial, sedangkan ibadah haji manfaatnya bersifat individual, hanya bagi yang melaksanakannya. Oleh karena itu dalam kaidah fiqh disebutkan al-muta’addiyah afdholu min al-qashirah, ibadah (yang berdampak) sosial lebih utama dari ibadah yang berdampak individual.

Contoh lain dari ibadah sosial adalah menyantuni anak yatim. Untuk ibadah yang satu ini, Rasulullah menjanjikan reward yang luar biasa bagi pelakunya. Dalam hadits disebutkan, “Aku dan orang yang mengurus (menanggung) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya.” (HR. Imam Al-Bukhari).

Dari hadis tersebut bisa kita pahami bahwa, betapa dekatnya jarak antara Rasulullah dengan orang yang menyantuni anak yatim.

Beliau menggambarkannya dengan posisi jari telunjuk dan jari tengah yang sangat dekat walaupun agak direnggangkan. Sedangkan bagi haji yang mabrur, Rasulullah hanya menjanjikan surga, tanpa ada jaminan dekat dengan beliau. Ini semakin menguatkan bahwa, ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.

Alquran sendiri menyebut orang yang mengabaikan anak yatim dan orang miskin sebagai pendusta agama. Dalam surah Al-Ma’un ayat 1-3 Allah Swt berfirman yang artinya, “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”.

Kata (يدعّ) yadu’-‘u dengan tasydid pada huruf ‘AIN berarti mendorong dengan keras. Bila dibaca (يدع) yadu’-u tanpa tasydid (ini masuk kategori bacaan syadz: yaitu bacaan yang sanadnya tidak sahih bahkan menyalahi tata bahasa Arab serta rasm Utsmani). artinya mengabaikan.

Menurut Prof. Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Misbah ya bahwa kata ini tidak harus diartikan terbatas dorongan fisik. Tapi mencakup pula segala bentuk penganiayaan, gangguan dan lain-lain.

Sedangkan kata (يحضّ) yahudh-dhu/menganjurkan. Kata ini memberi isyarat bahwa bagi kita yang tidak memiliki kelebihan apa pun, alias kere bin miskin, tetap dituntut paling sedikitnya menjadi “penganjur pemberi makan”. Ayat ini sedikit pun tidak memberikan ruang bagi kita untuk tidak peduli terhadap anak yatim & orang yang tidak mampu.

Oleh karena itu, melalui momen Idul Adha kali ini, mari kita tingkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan memperbanyak melakukan ibadah sosial ketimbang ibadah individual. Apakah dikatakan suatu kebaikan jika kita dengan bangganya bisa bolak-balik ke Tanah Suci untuk melakukan haji atau umrah yang bersifat sunah.

Padahal di kanan kiri kita ada anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang memerlukan bantuan kita. Di kanan kiri kita ada fakir miskin yang masih kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Di antara mereka sampai ada yang harus sakit berkepanjangan karena ketiadaan biaya untuk berobat ke rumah sakit, bahkan hingga akhirnya ajal menjemputnya.

Sementara kita yang berpunya, lebih senang bolak-balik melaksanakan haji dan umrah yang sunah demi gengsi semata. Tidak ada sedikitpun ada rasa simpati dan empati kepada yatim dan dhuafa.

Padahal Nabi Saw bersabda, khairunnaas anfa’uhum linnaas, _”sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Bukan yang paling banyak melaksanakan ibadah haji dan umrah sunnah.

Kalaupun ada yang mau peduli, itu bersifat temporer, yaitu saat ada peringatan 10 Muharram yang kita kenal dengan lebaran yatim. Padahal, yatim dan dhuafa tidak hanya hidup di tanggal 10 Muharram. Atau yang lebih miris lagi, ada yang berpura-pura simpati dan mau memberi.

Tapi itu terjadi hanya 5 tahun sekali, saat mereka butuh suara agar dipilih menjadi pejabat eksekutif dan legislatif. Setelah terpilih, kita seolah tidak pernah bertemu dan tidak pernah kenal sama sekali.

Sungguh miris dan menyedihkan sekali nasib para pendusta agama ini. Semoga sikap ini tidak ada pada diri kita yang senantiasa mengharapkan ridho Ilahi. Wallahu ta’ala a’lam.

Jakarta, 10 Dzulhijjah 1444 H.


Oleh: Boby es-Syawal el-Iskandar
Penulis merupakan Kabid Litbang PKALEMKA tinggal di Sukabumi, Jawa Barat.

Materi ini disampaikan pada khutbah Idul Adha 1444 H, 29 Juni 2023 di Masjid Jami Baiturrahman, Kembangan Jakarta Barat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *